Aliansi Nasional Anti Syiah - Menerima perbedaan dan mencari persamaan adalah cara kita merawat bangsa ini.
Munculnya gerakan anti-Syiah di Jawa Barat benar-benar menunjukkan demokrasi gagal membuat masyarakat kita bersikap dewasa.
Gerakan anti-Syiah di Bandung ini menambah panjang deretan masalah perbedaan agama di Tanah Air. Kasus anti-Syiah di Sampang, Madura, hingga kini belum tuntas diselesaikan. Ribuan warga harus tinggal di pengungsian hingga bertahun-tahun.
Catatan Lembaga Studi dan Advokasi Masyarakat (Elsam) menunjukkan, kasus kekerasaan berlatar belakang SARA di Tanah Air dalam beberapa tahun terakhir cenderung meningkat. Aksi penutupan dan perusakan tempat ibadah terus terjadi. Jawa Barat tercatat sebagai daerah dengan tingkat kekerasan berlatar belakang SARA paling tinggi.
Fenomena ini tampak ironis saat melihat India. Negara yang usianya dua tahun lebih muda dari kita justru tahun ini membuat terobosan, dengan mengakui transgender sebagai jenis kelamin ketiga sebagai bentuk kepatuhan mereka terhadap konstitusi. Mahkamah Agung India yang membuat keputusan menakjubkan itu berargumen, memilih jenis kelamin adalah hak setiap orang.
Keputusan tersebut akan menjamin hak kewarganegaraan bagi transgender sehingga tak boleh ada tindakan diskriminasi terhadap mereka. Melalui putusan itu, pemerintah India wajib menyediakan kuota dalam pekerjaan, pendidikan, dan fasilitas lain bagi para transgender, sebagaimana diberikan terhadap warga laki-laki dan perempuan.
Di Indonesia, kita tak juga selesai berkutat dengan mempersoalkan “perbedaan”, alih-alih mencari persamaan. Negara seolah membiarkan “kebencian” antarkelompok muncul, membiarkan masing-masing kelompok berebut menjadi “tirani mayoritas” dan memarginalkan kelompok lain yang nyata-nyata di hadapan kontitusi memiliki hak hidup yang sama. Sikap lamban negara menyikapi kesewenang-wenangan mayoritas membuat model gerakan seperti anti-Syiah bermunculan tak terbendung.
Kita sepakat dengan pandangan Nahdlatul Ulama yang melihat gerakan anti-Syiah ini justru akan memecah belah umat Islam. Namun, lebih dari itu, kita juga sepakat terhadap pernyataan Komisi Nasional Hak Asasi Manusia (Komnas HAM) bahwa seruan anti-Syiah dapat dikategorikan sebagai hate speech (seruan untuk membenci) dan merupakan pelanggaran terhadap konstitusi.
Jika pemerintah menuruti permintaan kelompok mayoritas untuk membubarkan sebuah kepercayaan hanya karena perbedaan, itu sama saja melanggar undang-undang (UU). Jika ada kelompok yang meminta pemerintah menuruti imbauan itu, berarti kelompok tersebut menyuruh pemerintah melanggar UU.
Bagaimana pun, kita melihat seruan anti-Syiah di Bandung merupakan sebuah kemunduran. Dalam sebuah negara yang semakin matang, perbedaan seharusnya bisa disikapi lebih dewasa. Kita semestinya paham keberagaman Indonesia—dalam soal etnis, suku, bahasa, keyakinan, dan sebagainya—justru merupakan kedigdayaan kita, bukan kelemahan. Konstitusi kita jelas-jelas menyebut dan mengakui keberagaman ini. Jadi, setiap upaya untuk “menyeragamkan” Indonesia harus dilihat sebagai penghinaan terhadap konstitusi.
Meskipun Gubernur Jawa Barat, Ahmad Heryawan, tak hadir dalam deklarasi gerakan anti-Syiah (meskipun namanya terpampang dalam baliho deklarasi), pernyataan pihak pemda bahwa apa yang dilakukan kelompok tersebut merupakan hak konstitusi mereka, menurut kita kurang tepat. Gubernur sebagai repesentasi pemerintah harusnya menunjukkan sikap tegas, dengan memberikan dukungan dan jaminan hidup kepada seluruh warga negara demi tegaknya konstitusi negara.
Kita mencurigai muatan politis di balik seruan anti-Syiah yang dikumandangkan sejumlah ulama di Bandung itu. Lolosnya salah satu calon legislatif yang diusung Partai Demokrasi Indonesia Perjuangan (PDIP) yang kebetulan salah satu tokoh Syiah Indonesia, kita tengarai menjadi pemicu munculnya gerakan anti-Syiah itu. Kita sama sekali tak mau gerakan tersebut menjadi bola panas yang menggilas dan membumihanguskan keindonesiaan kita.
Kita harus menolak lupa bahwa berdirinya sebuah bangsa dan negara sama sekali tak bisa dilepaskan dari keberagaman. Indonesia dibangun di atas fondasi perbedaan serta didukung seluruh kelompok aliran, ajaran, dan agama. Menerima perbedaan dan mencari persamaan adalah cara kita merawat bangsa ini agar bisa bertahan.
Jangan sampai, orang-orang dangkal pikir yang mengobsesikan Indonesia menjadi negeri satu agama menggunakan gerakan-gerakan antiminoroitas macam ini untuk menghancurkan kesatuan kita sebagai bangsa. Kita harus mampu menunjukkan, yang mayoritas di negeri ini adalah kita yang menghargai perbedaan, bukan mereka yang memaksakan keseragaman. (*)
Sumber : SINAR HARAPAN