Jumat, 02 Mei 2014

"Seruan Anti-Syiah di Bandung Merupakan Sebuah Kemunduran"

Aliansi Nasional Anti Syiah - Menerima perbedaan dan mencari persamaan adalah cara kita merawat bangsa ini.

Munculnya gerakan anti-Syiah di Jawa Barat benar-benar menunjukkan demokrasi gagal membuat masyarakat kita bersikap dewasa.

Gerakan anti-Syiah di Bandung ini menambah panjang deretan masalah perbedaan agama di Tanah Air. Kasus anti-Syiah di Sampang, Madura, hingga kini belum tuntas diselesaikan. Ribuan warga harus tinggal di pengungsian hingga bertahun-tahun.

Catatan Lembaga Studi dan Advokasi Masyarakat (Elsam) menunjukkan, kasus kekerasaan berlatar belakang SARA di Tanah Air dalam beberapa tahun terakhir cenderung meningkat. Aksi penutupan dan perusakan tempat ibadah terus terjadi. Jawa Barat tercatat sebagai daerah dengan tingkat kekerasan berlatar belakang SARA paling tinggi.

Fenomena ini tampak ironis saat melihat India. Negara yang usianya dua tahun lebih muda dari kita justru tahun ini membuat terobosan, dengan mengakui transgender sebagai jenis kelamin ketiga sebagai bentuk kepatuhan mereka terhadap konstitusi. Mahkamah Agung India yang membuat keputusan menakjubkan itu berargumen, memilih jenis kelamin adalah hak setiap orang.

Keputusan tersebut akan menjamin hak kewarganegaraan bagi transgender sehingga tak boleh ada tindakan diskriminasi terhadap mereka. Melalui putusan itu, pemerintah India wajib menyediakan kuota dalam pekerjaan, pendidikan, dan fasilitas lain bagi para transgender, sebagaimana diberikan terhadap warga laki-laki dan perempuan.

Di Indonesia, kita tak juga selesai berkutat dengan mempersoalkan “perbedaan”, alih-alih mencari persamaan. Negara seolah membiarkan “kebencian” antarkelompok muncul, membiarkan masing-masing kelompok berebut menjadi “tirani mayoritas” dan memarginalkan kelompok lain yang nyata-nyata di hadapan kontitusi memiliki hak hidup yang sama. Sikap lamban negara menyikapi kesewenang-wenangan mayoritas membuat model gerakan seperti anti-Syiah bermunculan tak terbendung.

Kita sepakat dengan pandangan Nahdlatul Ulama yang melihat gerakan anti-Syiah ini justru akan memecah belah umat Islam. Namun, lebih dari itu, kita juga sepakat terhadap pernyataan Komisi Nasional Hak Asasi Manusia (Komnas HAM) bahwa seruan anti-Syiah dapat dikategorikan sebagai hate speech (seruan untuk membenci) dan merupakan pelanggaran terhadap konstitusi.

Jika pemerintah menuruti permintaan kelompok mayoritas untuk membubarkan sebuah kepercayaan hanya karena perbedaan, itu sama saja melanggar undang-undang (UU). Jika ada kelompok yang meminta pemerintah menuruti imbauan itu, berarti kelompok tersebut menyuruh pemerintah melanggar UU.

Bagaimana pun, kita melihat seruan anti-Syiah di Bandung merupakan sebuah kemunduran. Dalam sebuah negara yang semakin matang, perbedaan seharusnya bisa disikapi lebih dewasa. Kita semestinya paham keberagaman Indonesia—dalam soal etnis, suku, bahasa, keyakinan, dan sebagainya—justru merupakan kedigdayaan kita, bukan kelemahan. Konstitusi kita jelas-jelas menyebut dan mengakui keberagaman ini. Jadi, setiap upaya untuk “menyeragamkan” Indonesia harus dilihat sebagai penghinaan terhadap konstitusi.

Meskipun Gubernur Jawa Barat, Ahmad Heryawan, tak hadir dalam deklarasi gerakan anti-Syiah (meskipun namanya terpampang dalam baliho deklarasi), pernyataan pihak pemda bahwa apa yang dilakukan kelompok tersebut merupakan hak konstitusi mereka, menurut kita kurang tepat. Gubernur sebagai repesentasi pemerintah harusnya menunjukkan sikap tegas, dengan memberikan dukungan dan jaminan hidup kepada seluruh warga negara demi tegaknya konstitusi negara.

Kita mencurigai muatan politis di balik seruan anti-Syiah yang dikumandangkan sejumlah ulama di Bandung itu. Lolosnya salah satu calon legislatif yang diusung Partai Demokrasi Indonesia Perjuangan (PDIP) yang kebetulan salah satu tokoh Syiah Indonesia, kita tengarai menjadi pemicu munculnya gerakan anti-Syiah itu. Kita sama sekali tak mau gerakan tersebut menjadi bola panas yang menggilas dan membumihanguskan keindonesiaan kita.

Kita harus menolak lupa bahwa berdirinya sebuah bangsa dan negara sama sekali tak bisa dilepaskan dari keberagaman. Indonesia dibangun di atas fondasi perbedaan serta didukung seluruh kelompok aliran, ajaran, dan agama. Menerima perbedaan dan mencari persamaan adalah cara kita merawat bangsa ini agar bisa bertahan.

Jangan sampai, orang-orang dangkal pikir yang mengobsesikan Indonesia menjadi negeri satu agama menggunakan gerakan-gerakan antiminoroitas macam ini untuk menghancurkan kesatuan kita sebagai bangsa. Kita harus mampu menunjukkan, yang mayoritas di negeri ini adalah kita yang menghargai perbedaan, bukan mereka yang memaksakan keseragaman. (*)

Sumber : SINAR HARAPAN
Read More

Gubernur Jabar Biarkan Deklarasi Anti-Syiah

Aliansi Nasional Anti Syiah - Gubernur Jawa Barat (Jabar) Ahmad Heryawan tidak akan melarang wacana antikelompok Syiah di Bandung, Jabar. Alasannya, wacana atau diskusi tersebut tidak mengganggu ketertiban umum.

Ia juga membantah kalau gerakan anti-Syiah menguat di wilayahnya. Hal tersebut disampaikan Ahmad Heryawan usai mengikuti sidang kabinet paripurna di Istana Negara, Jakarta, Selasa (29/4).

“Hanya pernah ada (gerakan anti-Syiah-red), bukan ramai. Kalau ramai, tiap minggu ada. Memang tidak ada pelarangan, siapa yang melarang,” kata Ahmad Heryawan.

Calon presiden (capres) hasil Pemilu Rakyat (Pemira) Partai Keadilan Sejahtera (PKS) itu menegaskan, Bandung atau Jabar hanya melarang semua bentuk aksi kekerasan.

Namun, kalau ada pihak-pihak yang mengemukakan pendapat, sepanjang pendapat biasa dan tidak memprovokasi, itu sah-sah saja. Ahmad tidak menganggap gerakan anti-Syiah sebagai sesuatu yang memprovokasi.

"Namun yang penting, pokoknya kami, siapa pun di negeri ini membawa isu apa pun sepanjang isu ini wacana diskusi, kami biarkan. Namun, kalau sudah kekerasan, urusannya mengganggu keamanan. Itu lain cerita," tuturnya.

Sementara itu, Menteri Agama Suryadharma Ali malah mengaku belum mengetahui adanya gerakan anti-Syiah di Bandung. Ketua Umum Partai Persatuan Pembangunan (PPP) tersebut menolak dianggap tidak serius menjaga kerukunan beragama atas ketidaktahuannya pada persoalan pelarangan Syiah di Bandung.

“Kok tidak serius. Oke nanti saya cek dulu ya, saya belum tahu. Benar, saya jujur belum tahu," kata Suryadharma Ali.

Bisa Dimundurkan
 
Kepala Bidang Advokasi Lembaga Bantuan Hukum (LBH) Jakarta, Muhamad Isnur berharap, DPRD Jabar bisa mengklarifikasi Ahmad Heryawan terkait pembiarannya terhadap pihak yang menyebar kebencian kepada pihak lain melalui hak-hak DPR, seperti interpelasi.

Jika perlu, DPRD Jabar mendesak yang bersangkutan untuk mundur dari jabatannya karena tidak mampu memberi rasa aman dan melindungi berbagai perbedaan keyakinan warga negara.

“Secara politik, DPRD Jabar bisa melakukan interpelasi, sama seperti Aceng Fikri (mantan Bupati Garut) gara-gara perempuan bisa diinterpelasi dan dimundurkan.

Saya pikir DPRD dan partai-partai yang mendukung pluralisme itu bisa mendorong interpelasi dan pencopotan atau pelucutan Ahmad Heriawan sebagai gubernur,” kata Muhamad Isnur.

Menurutnya, sikap Ahmad Heryawan tidak mencerminkan sikap penduduk Jabar. Apa yang dilakukan Ahmad Heryawan adalah pelanggaran hak asasi manusia (HAM) serius.

Lebih miris lagi, ia menegaskan, sikap pembiaran dilakukan gubernur yang ingin jadi capres. “Ini bukan hanya membahayakan konsntelasi Jabar, melainkan Indonesia," ujanya.

Ia menegaskan, isu agama paling mudah dijadikan bahan bakar untuk menyulut sentimen terhadap pihak tertentu.

Pada Minggu (20/4), sejumlah ulama mendeklarasikan Aliansi Nasional Anti-Syiah di Bandung, Jabar. Anggota Komisi Nasional Hak Asasi Manusia (Komnas HAM), Imdadun Rahmat mengatakan, seruan penolakan anti-Syiah merupakan ajakan untuk membenci pihak lain.

Hal itu dapat dikategorikan sebagai hatespeech (seruan untuk membenci) dan sama saja pelanggaran terhadap Undang-Undang Dasar (UUD).

Imdadun mengatakan, seruan anti-Syiah di Bandung itu merupakan sebuah kemunduran. Dalam sebuah negara yang semakin matang, perbedaan seharusnya bisa disikapi dengan lebih dewasa.

Sumber : SINAR HARAPAN
Read More

Catatan Buat ANAS: "Jika Benar Beriman, Mengapa Takut Kepada Mereka Yang Sesat?"

Aliansi Nasional Anti Syiah - ANAS bukan nama orang, ia adalah akronim dari Aliansi Nasional Anti Syiah. Itulah nama baru kelompok takfiri yang bergerombol di salah satu mesjid kecil di sebuah lorong di kota Bandung 20 April lalu. Mereka meneriakkan kebencian, bahkan ajakan membunuh sesama muslim. Ismail Amin, salah seorang alumni Wahdah Islamiyah Makassar yang sekarang belajar di Iran, memberikan catatan kritis atas aksi sekelompok orang yang mencatut nama Islam.

Saya yakin Muhammad Ngaenan masih memendam rasa sakit. Bukan karena pinggangnya masih sakit karena ditendang-tendang. Bukan juga karena dianiaya, dia sudah sadar akan tugas yang diembannya mengharuskan ia suatu waktu merelakan tubuhnya dikeroyok, dihujani bogem mentah, bahkan sampai dibunuh sekalipun.  Ia sakit hati karena yang melakukannya adalah orang-orang yang justru seharusnya menjadi penjaga dan penghias agama ini. Ia sakit hati, karena dikeroyok dan diperlakukan layaknya kriminil didepan mata mereka yang memperkenalkan diri kepada ummat sebagai ulama dan intelektual islam. Hatinya remuk redam karena bukan pembelaan yang didapatnya, tapi dipersalahkan karena cara yang berbeda yang dipilihnya dalam menjalankan Islam.

Betapa menggelikan, ketika ia menulis dalam ceritanya, ketika diseret dan hendak dipukuli, sang pengeroyok berkata, ““Jangan ganggu rapat para ulama, kita bawa saja ke samping.”  Rapat ulama? Apa yang dibicarakan para ulama yang tidak boleh diganggu itu?. Ulama yang membenarkan pemukulan dan penganiayaan hanya karena pilihan yang berbeda, itu yang disebut mewakili ummat dan pembicaraannya adalah demi masa depan ummat dan dakwah Islam yang mereka usung?.

Masa depan apa yang hendak mereka ciptakan? Masa depan yang penuh teror dan permusuhan pada sesama muslim, dan kegirangan kalau semua ummat satu pemikiran dengan apapun yang menjadi pendapatnya?. Hari itu, para ulama yang sedang rapat itu, baru saja mendeklarasikan Aliansi Nasional Anti Syiah. Aliansi yang telah memakan korban sejak hari pertama pendeklarasiannya.

Ngaenan hanyalah seorang pemburu berita, seorang wartawan, yang sayangnya bekerja untuk situs berita Ahlul Bait Indonesia [ABI] salah satu ormas Syiah di samping IJABI. Jadilah pengeroyokan tersebut menjadi luar biasa. Seorang pemburu berita dikerumuni, ditendang dan dipukuli laskar pemburu aliran sesat. Para pemburu tersebut tanpa perlu berburu, mangsanya yang datang sendiri di sarang mereka. Bukankah ini pertolongan Tuhan yang harus disyukuri habis-habisan?.

Salahkah berburu berita?. Bukankah mereka seharusnya berterimakasih pada siapapun yang meliput dan memberitakan kegiatan mereka?. Undangan yang disebar konon sampai 9 ribu pucuk, termasuk para delegator yang berasal dari beragam daerah [meskipun yang hadir pada akhirnya tidak sampai seribu]. Dan tentu memakan ongkos yang tidak sedikit. Tentu sayang, kalau kegiatan yang diklaim berskala nasional [meskipun cuma dilakukan di masjid tingkat RW] tersebut tidak mendapat liputan besar-besaran. Dan ABIpun mengutus wartawannya, untuk membantu pempublikasiannya. Tapi apa yang didapat?. Ngaenan sendiri yang langsung menulis kisah pilunya di hari Minggu.

Coba bandingkan, dengan kegiatan-kegiatan ormas-ormas dan yayasan Syiah. Wartawan dari kalangan manapun diberi keleluasan sebesar-besarnya untuk meliput kegiatan mereka. Wartawan Trans 7, yang membuat acara Khazanah yang menyudutkan Syiah, dengan santai dan tanpa gangguan apapun menghadang peserta yang menghadiri acara Seminar Internasional Idul Ghadir yang diselenggarakan IJABI di Jakarta oktober 2013 lalu untuk mereka wawancarai. Meskipun pada akhirnya berita yang mereka buat justru menyudutkan Syiah. Jangankan sekedar meliput berita, kelompok anti Syiah juga malah dibiarkan berdemonstrasi dan berunjuk rasa menolak terselenggaranya acara-acara Syiah, dan panitia dibantu keamanan merasa tidak perlu mengusir atau membuat demo tandingan. Tidak jarang, para demonstran tersebut malah disuguhi air kemasan oleh panitia. Teman yang aktif di IJABI Makassar malah menceritakan, ketika tahu diantara yang hadir dalam acara Asyura mereka adalah wartawan LPPI Makassar, dia malah mendatangi, memberi 1 kotak makanan plus bulletin al Tanwir.

Mengapa mereka begitu ketakutan ketika giliran acara mereka yang diliput?. Mengapa sampai harus menganiaya dan mengeroyok segala?. Dari situs berita Liputan Islam. Di Bogor malah pernah berlangsung bedah buku MUI yang berlangsung secara rahasia dan esklusif. Oleh panitia, para peserta dilarang meliput, merekam atau mengambil gambar sepanjang acara berlangsung. Bukan hanya itu, dibanyak acara mereka yang bertujuan memprovokasi masyarakat untuk membenci dan memusuhi Syiah, tidak dihadirkan seorangpun tokoh dari kalangan Syiah sebagai pembicara, kalaupun ada, dihadirkan tapi dilarang untuk berbicara dengan beragam alasan yang dibuat-buat sebagaimana kasus yang menimpa Habib DR. Umar Shahab, dewan pakar ABI yang diundang disebuah acara seminar sebagai pembicara, namun tidak diberi kesempatan untuk berbicara. Ketika akhirnya beliau memilih pulang, besoknya naik berita dari pihak penyelenggara yang menyebutkan, beliau pengecut dan melarikan diri dari seminar.

Satu hal yang ingin saya sampaikan. Sunni sejati tidak akan pernah mengkhawatirkan perkembangan Syiah, tidak pernah takut dengan menyebarnya aliran-aliran sesat, sedasyhat apapun. Pernahkah pembesar-pembesar NU dan Muhammadiyah (dua ormas yang paling representatif mewakili Sunni Indonesia) menyatakan kekhawatiran akan perkembangan Syiah di Indonesia? Jawabannya: TIDAK. Tentu kewaspadaan tetap ada, tapi tidak mesti diekspresikan berlebihan. Sampai sedemikian takutnya kalau pendiri IJABI yang jadi menteri agama.

Bandingkan dengan mereka yang phobia Syiah. Masih minoritas saja Syiah sudah begitu sangat menakutkan bagi mereka. Main hasud, main sembur fitnah, main rekayasa berita. Main tuding, siapapun yang membela dan simpatik pada Syiah, sudah diklaim agen Syiah.

Ini rumusnya dari Al-Qur'an :

"Wahai-wahai orang-orang yang beriman, jagalah dirimu; (karena) orang yang sesat itu tidak akan membahayakanmu apabila kamu telah mendapat petunjuk." (Qs. Al-Maidah : 105).

Sebut saja Syiah sesat. Nah kesesatan Syiah tidak akan membahayakan bagi orang-orang yang beriman. Ini janji Allah SWT. Syaratnya, jika orang-orang beriman tersebut telah mendapat petunjuk.

Nah, jika Abu Jibril, Said Shamad, Zein al Kaff, Farid Okbah, Khalil Ridwan, Ma’ruf Baharun dan seterusnya masih menganggap Syiah berbahaya, maka satu jawabannya: ITU KARENA MEREKA BELUM MENDAPAT PETUNJUK SAJA.

Wallahu ‘alam Bishshawwab

Sumber : LPPI MAKASSAR
Read More
© Official Blog of Aliansi Nasional Anti Syiah All rights reserved | Theme Designed by Seo Blogger Templates