ALIANSI NASIONAL ANTI SYIAH - Pemerintah seharusnya membatasi ruang gerak kelompok-kelompok yang kerap memprovokasi kebencian terhadap kelompok masyarakat lain. Pemerintah tidak perlu memfasilitasi gerakan, apalagi mendukung kelompok masyarakat yang terang-terangan menyerukan kebencian terhadap sesama warga negara.
Demikian dinyatakan Direktur Eksekutif Maarif Institute. Fajar Riza Ul Haq, Jakarta, Kamis (24/4), menyikapi gerakan deklarasi anti-Syiah di Bandung, Jawa Barat, beberapa waktu lalu. Menurutnya, sudah saatnya Indonesia mempertimbangkan membuat Undang-Undang (UU) Antipenyebaran Ucapan Kebencian (hate speech).
"Seyogianya, pemerintah fokus mengantisipasi munculnya kelompok-kelompok yang berupaya menyebar kebencian. Memang tidak bisa negara membubarkan begitu saja karena berlawanan dengan prinsip kebebasan, tetapi paling tidak jangan sampai memprovokasi ke arah kekerasan," ujar Fajar.
Ia mengatakan, negara juga tidak boleh berkompromi ketika ucapan kebencian berujung tindakan kriminal. Ketika ada tindakan kriminal, penegak hukum harus segera mengambil langkah hukum yang tegas.
Fajar menyesalkan, belum adanya UU mengenai ucapan kebencian, membuat masyarakat mudah memprovokasi dalam mimbar-mimbar agama, tanpa diproses hukum. Jika ada UU ucapan kebencian, ucapan kebencian bisa dikategorikan kriminal.
Tetapi, Fajar mengingatkan, jika ada UU ucapan kebencian, jangan sampai justru membatasi atau berlawanan dengan prinsip kebebasan berpendapat. Ia juga meminta masyarakat lebih dewasa menyikapi perbedaan. Jangan mudah terprovokasi. Kelompok-kelompok di masyarakat harus terus memodernisasi perbedaan yang ada.
Menteri Dalam Negeri (Mendagri), Gamawan Fauzi, menolak berkomentar soal pembentukan gerakan anti-Syiah yang didukung pemerintah Jawa Barat. Menurut Gamawan, itu merupakan urusan Kementerian Agama (Kemenag). "Lebih tepat itu ditanyakan ke Kemenag," tuturnya, Rabu (23/4).
Anggota DPD Kepulauan Riau (Kepri), Djasamen Purba mengatakan, masih adanya masalah pimordial gerakan sektarian merupakan langkah mundur di Indonesia saat ini. Hal tersebut terjadi karena pemerintah tidak tegas menegakkan aturan, sekalipun sudah diatur dalam konstitusi dan UU. “Harusnya pemerintah tegas. Kalau tidak tegas, masalah seperti ini tetap ada,” ucapnya.
Ia berharap pemerintah mengambil tindakan, tidak membiarkan. Adanya upaya menghasut yang menimbulkan kebencian terhadap kalangan tertentu harus disikapi bijak oleh pemerintah. “Negara tidak boleh kalah berhadapan dengan kelompok tertentu yang merongrong. Itu tugas negara, memastikan semua warganya dalam kondisi aman,” ujar Djasamen.
Ia juga menyayangkan sikap Gubernur Jawa Barat Ahmad Heryawan yang diundang dalam deklarasi anti-Syiah tersebut. Seharusnya selaku kepala daerah, ia berdiri di atas semua golongan untuk menegakkan konstitusi, bukan mendukung pelanggaran terhadap aturan.
Seperti diberitakan, Minggu (20/4) kemarin, Aliansi Nasional Anti-Syiah di Jalan Cijagra, Bandung, mendeklarasikan empat poin komitmen dan tekad mengadang ajaran Syiah di Indonesia. Penyelenggara juga mengundang Gubernur Jawa Barat, Ahmad Heryawan, namun ia tidak hadir.
Nama kader Partai Keadilan Sejahtera itu (PKS) itu tercantum di baliho besar acara di depan Masjid Al-Fajr milik Ketua Forum Ulama Ummat Indonesia (FUUI) Athian Ali M Dai, yang menjadi tempat deklarasi. (Inno Jemabut)
Demikian dinyatakan Direktur Eksekutif Maarif Institute. Fajar Riza Ul Haq, Jakarta, Kamis (24/4), menyikapi gerakan deklarasi anti-Syiah di Bandung, Jawa Barat, beberapa waktu lalu. Menurutnya, sudah saatnya Indonesia mempertimbangkan membuat Undang-Undang (UU) Antipenyebaran Ucapan Kebencian (hate speech).
"Seyogianya, pemerintah fokus mengantisipasi munculnya kelompok-kelompok yang berupaya menyebar kebencian. Memang tidak bisa negara membubarkan begitu saja karena berlawanan dengan prinsip kebebasan, tetapi paling tidak jangan sampai memprovokasi ke arah kekerasan," ujar Fajar.
Ia mengatakan, negara juga tidak boleh berkompromi ketika ucapan kebencian berujung tindakan kriminal. Ketika ada tindakan kriminal, penegak hukum harus segera mengambil langkah hukum yang tegas.
Fajar menyesalkan, belum adanya UU mengenai ucapan kebencian, membuat masyarakat mudah memprovokasi dalam mimbar-mimbar agama, tanpa diproses hukum. Jika ada UU ucapan kebencian, ucapan kebencian bisa dikategorikan kriminal.
Tetapi, Fajar mengingatkan, jika ada UU ucapan kebencian, jangan sampai justru membatasi atau berlawanan dengan prinsip kebebasan berpendapat. Ia juga meminta masyarakat lebih dewasa menyikapi perbedaan. Jangan mudah terprovokasi. Kelompok-kelompok di masyarakat harus terus memodernisasi perbedaan yang ada.
Menteri Dalam Negeri (Mendagri), Gamawan Fauzi, menolak berkomentar soal pembentukan gerakan anti-Syiah yang didukung pemerintah Jawa Barat. Menurut Gamawan, itu merupakan urusan Kementerian Agama (Kemenag). "Lebih tepat itu ditanyakan ke Kemenag," tuturnya, Rabu (23/4).
Anggota DPD Kepulauan Riau (Kepri), Djasamen Purba mengatakan, masih adanya masalah pimordial gerakan sektarian merupakan langkah mundur di Indonesia saat ini. Hal tersebut terjadi karena pemerintah tidak tegas menegakkan aturan, sekalipun sudah diatur dalam konstitusi dan UU. “Harusnya pemerintah tegas. Kalau tidak tegas, masalah seperti ini tetap ada,” ucapnya.
Ia berharap pemerintah mengambil tindakan, tidak membiarkan. Adanya upaya menghasut yang menimbulkan kebencian terhadap kalangan tertentu harus disikapi bijak oleh pemerintah. “Negara tidak boleh kalah berhadapan dengan kelompok tertentu yang merongrong. Itu tugas negara, memastikan semua warganya dalam kondisi aman,” ujar Djasamen.
Ia juga menyayangkan sikap Gubernur Jawa Barat Ahmad Heryawan yang diundang dalam deklarasi anti-Syiah tersebut. Seharusnya selaku kepala daerah, ia berdiri di atas semua golongan untuk menegakkan konstitusi, bukan mendukung pelanggaran terhadap aturan.
Seperti diberitakan, Minggu (20/4) kemarin, Aliansi Nasional Anti-Syiah di Jalan Cijagra, Bandung, mendeklarasikan empat poin komitmen dan tekad mengadang ajaran Syiah di Indonesia. Penyelenggara juga mengundang Gubernur Jawa Barat, Ahmad Heryawan, namun ia tidak hadir.
Nama kader Partai Keadilan Sejahtera itu (PKS) itu tercantum di baliho besar acara di depan Masjid Al-Fajr milik Ketua Forum Ulama Ummat Indonesia (FUUI) Athian Ali M Dai, yang menjadi tempat deklarasi. (Inno Jemabut)
Sumber : SINAR HARAPAN
Tidak ada komentar:
Posting Komentar